Thursday, October 14, 2004

Nilai Seni Tari Perut

Tari Perut, dari Pornografi ke Seni


Nile City, salah satu kapal terapung di sungai Nil penyedia tari perut


Bagi orang Mesir, tarian erotis ala Si Ratu Ngebor Indonesia Inul Daratista, bukanlah barang baru. Sejak berabad-abad lamanya, tari perut, dengan segala muatan erotisme-nya, telah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat.

Tari perut dianggap sebagai warisan budaya leluhur Mesir Kuno yang harus dilestarikan. Pemerintah Mesir menjadikannya sebagai salah satu komoditas wisata yang bernilai tinggi. Karena itu, penghargaan bagi para penari terbaik, selalu diberikan. Raja Farouk, penguasa Mesir tahun 1936-1952, sering memberikan penghargaan dan gelar istimewa bagi penari-penari terbaik Mesir di masanya. Begitu juga Napoleon Bonaparte, penguasa Mesir berkebangsaan Perancis akhir abad 18, selalu memberikan perlakuan khusus dalam melindungi para penari perut dari gangguan orang-orang iseng.

Mesir memang sudah lama menggeliat. Sebagai sebuah negara yang potensial, ia berada di jajaran depan negara-negara di benua Afrika. Kemajuan itu antara lain tercermin dari cara mereka mengelola pariwisatanya. Profesionalitas mereka dalam mengemas pariwisata dapat dilihat dari cara mereka mendatangkan turis untuk melihat pertunjukan tari perut di atas kapal terapung yang berjejer di sungai Nil.


Kini, tari perut sangat mudah kita temukan di Mesir, seperti mudahnya mencari Warteg di Jakarta. Dengan uang 100 hingga 130 Pound (sekitar 120 – 150 ribu rupiah), kita bisa duduk santai selama 2 jam, di atas kapal, diiringi lagu-lagu Arab dan Barat suguhan sekelompok pemusik. Di antara lagu yang dimainkan itu, tiba-tiba hadir tubuh semampai seorang penari yang menampilkan tari perut nan indah. Hampir 20 menit, tubuh indah itu meliuk-liuk. Sambil menikmati hidangan makan malam, kita dapat melihat temaramnya lampu-lampu kota Kairo

Sepanjang sungai Nil di kota Kairo, puluhan kapal pesiar (Nile Cruiser) berukuran besar penyedia hiburan tari perut berjejer menanti penumpang setiap malamnya. Sekitar kawasan Tahrir Square (pusat kota Kairo) saja, setidaknya ada 10-an kapal yang nongkrong. Rata-rata, setiap kapal menggelar acara hiburan itu 3 gelombang dalam seharinya ; siang, sore dan malam hari.

Tari Perut kini telah dijadikan salah satu komoditas utama wisata Mesir. Daya tariknya memang luar biasa. Pengamatan saya dalam beberapa kesempatan, acara hiburan penyedia tari perut dalam kapal-kapal pesiar Nil itu selalu penuh. Tentu saja bagi perekonomian Mesir, ini merupakan sumber pemasukan keuangan yang besar. Tahun 2001-2002 saja, tercatat sekira 5,8 juta turis mancanegara, hampir semuanya mampir ke kapal penyedia tari perut itu. Hotel-hotel didirikan di berbagai kota. Tercatat pada tahun 2000, 113.600 kamar hotel tersedia. Pantas jika 25 persen penghasilan negara datang dari sektor ini.


Tetapi, sebagai tari pengumbar aurat wanita, tari perut hanya boleh digelar di tempat-tempat tertutup yang ditunjuk. Para ulama Al Azhar, pada awal dekade 1980-an berfatwa tentang larangan ini. Apresiasi masyarakat juga beragam. Ada yang melihat tari perut sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, bagian dari inovasi dalam berkesenian, sehingga layak mendapat apresiasi. Ada juga yang mengecamnya sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan. Ada juga yang melihatnya sebagai bagian dari penyebaran sensualitas yang tak senonoh, tidak sesuai dengan norma kepantasan, dan semestinya ditertibkan.

Bagi para pekerja seni, tentu saja persoalan ini menjadi perhatian khusus. Adalah Vivi Abduh, sang grand master tari perut Mesir berkomentar tentang hal ini. “Tari perut adalah seni yang bernilai tinggi. Kami melakukannya dengan musik tertentu, dalam batas-batas artistik dan estetika”, kata dia, sebagaimana dikutip sebuah mingguan Kairo.

Untuk ‘menyelamatkan’ tari perut dari serangan kaum ekstrem, para artis kini sedang berusaha mendirikan sebuah naqabah raqishah (ikatan penari), tempat mereka bergabung. “Pembentukan organisasi ini, bertujuan untuk menempatkan tari perut pada posisi yang terhormat”, kata Vivi Abduh. Wadah itu akan membentuk tim penyeleksi penari, mana yang profesional, dan mana yang gadungan. Tim juga akan memberikan pelatihan singkat tentang aturan main tari perut yang benar, dengan menjunjung tinggi batas-batas seni dan etika, sehingga tari perut tidak lagi dipandang sebelah mata oleh publik. Bahkan, tim akan mengeluarkan semacam lisensi khusus, sebagai ‘surat izin’ operasi bagi para penarinya.

Selama ini, 3000-an penari perut di seluruh pelosok Mesir, beroperasi sendiri-sendiri. Berbagai kisah buruk kerap terjadi menimpa mereka. Seperti prilaku pengunjung yang tidak sopan, atau tindak kekerasan dan pelecehan lainnya. Kesan bahwa penari perut itu wanita murahan dan bisa diajak kencan, juga mengemuka di sebagian kalangan. “Padahal image seperti itu tidak akan ada, kalau kita bersatu”, ujar Vivi Abduh.

Upaya mengangkat citra tari perut dengan cara pembentukan organisasi ini, telah dimulai sejak 4 tahun terakhir. Tandatangan 200 penari telah terkumpul. Persyaratan administratif yang berkaitan dengan aturan kenotarisan, juga telah disiapkan. Hanya saja, para artis penari itu sendiri belum semuanya sepakat dalam rencana ini. Mereka keasyikan ngebor terus sih…

Pinggiran Nil, 2 September 2003

No comments:

Post a Comment