Wednesday, October 13, 2004

SSM 3 : Mesjid Tarekat

Mesjid-Mesjid Bau Kemenyan

Mesjid Sayyida Nafisah di kawasan Old Cairo


Kairo, Kamis pertama Mei 2003. Mesjid Ja’fariyah nampak sudah penuh dengan jemaah saat aku datang malam itu. Waktu hampir menunjukkan pukul 22.00. “Ahlan-ahlan”, ujar seorang pengurus mesjid bermuka ceria dan pakaian putih bersih, seraya mempersilahkanku duduk diantara deretan jemaah lain. Gemuruh shalawat yang dikumandangkan oleh sekitar 400 jemaah, menghangatkan suasana dalam mesjid seluas kira-kira 1000 meter persegi itu.

Belum lima menit aku duduk, seseorang memanggilku, seraya menunjuk ke arah pojok mesjid. Aku langsung faham. Segera kuberjalan, bersama beberapa jemaah lain, menuruni tangga menuju dapur umum, untuk makan bersama. Di ruangan lantai dasar mesjid itu, kami biasa makan ramai-ramai, satu wadah untuk 6-8 orang. Dari dulu, menunya ngga pernah berubah, nasi dicampur daging sapi rebus dan potongan isy (roti), dalam sebuah wadah berkuah. Minumnya pun begitu, satu gelas giliran. Karena sudah biasa, sama sekali aku ngga canggung, makan satu wadah dengan orang-orang Arab Mesir yang terkadang berpakaian tidak bersih itu. Segalanya berlangsung alami, dan tentu saja, nikmat.

Usai makan, kami kembali ke mesjid, lalu duduk di tempat semula. Suara shalawat masih tetap ramai, dengan beberapa kali pergantian lagu. Sesekali bibirku bergerak, mengikuti irama senandung puji-pujian pada Nabi dan keluarganya itu. Shallallahu 'ala Thaha, wa 'ala Ahliha wa Ashabaha ......dan seterusnya......


Beberapa saat kemudian, seorang petugas keliling jemaah membagikan syay, segelas teh manis panas. Segera kusambut dan kuhabiskan, karena kutahu, ngga lama lagi gelasnya bakal diambil, dan setelah itu, ada minuman lainnya. Biasanya berupa minuman bergas, semisal pepsi, sprit, de el el, disertai kue atau permen.

Sambil pegang minuman, mulutku komat-kamit mengikuti irama shalawat. Pandangan mataku mengitari jemaah yang duduk di depan. Dengan beralaskan karpet tebal, kami duduk lesehan, posisi berhadapan. Sementara sang pimpinan tarekat, seorang syekh berusia senja, duduk di kursi, dekat mihrab, arah menyamping dari kami. Kulit mukanya keriput, sementara tatapan matanya tajam. Ia selalu sibuk disalami jemaah yang hendak cium tangan. Sesekali ia bicara lewat telepon genggam miliknya. Menjelang pukul 23, beliau menyampaikan ceramah singkat, tentang ajaran-ajaran tasawuf, akhlakul karimah, dan lain-lain. Sesekali beliau mencampurinya dengan guyonan-guyonan santai. Para jemaah yang orang Mesir, kadang ketawa ger-geran. Aku yang ngga faham maksudnya, sesekali ketawa ikut-ikutan. Seuri koneng, kalo kata orang Priangan. Saat beliau ceramah, seorang lelaki setengah baya berkeliling shaf, membawa wadah seukuran piring kecil berisi arang plus kemenyan yang terbakar. Asap pun mengepul, aroma semerbak pun terasa menusuk hidung.

Begitulah, dulu, hampir setiap malam jumat, aku mengunjungi mesjid pusat gerakan tarekat Ja’fariyah ini, yang berlokasi hanya sekitar 100 meter dari gedung kantor Grand Syekh Al Azhar, depan terminal bis Darrasah, kota Kairo. Mesjidnya terbilang megah, bersih, dengan arsitektur khas Arab. Di halaman mesjid, terdapat bangunan kecil, lokasi makam syekh Sholeh al Ja’fari, ulama besar pendiri tarekat ini yang konon pernah menjabat sebagai Grand Syekh Azhar.

Acara ritual tarekat Ja'fariyah, dimulai kira-kira satu jam setelah Isya, hingga menjelang tengah malam. Bacaan wiridnya hanya shalawat-shalawat, pujian pada Nabi dan keluarganya, yang dilantunkan bersama-sama. Tidak ada ritual dzikir membaca lafadz tahlil 'la ilaha illallahu' secara serempak sebagaimana yang sering saya alami di Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyyah (TQN)-nya Abah Anom di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya dulu.

Sebelum ke mesjid Ja’fariyah, kadang aku mampir dulu di kantor tarekat Burhamiyah, yang lokasinya masih di kawasan Darrasah, arah ke Husein. Aula tarekat Burhamiyyah, bukanlah sebuah mesjid sebagaimana Ja'fariyah. Juga tidak ada makam ulama-nya. Burhamiyyah cabang Kairo ini, hanya menempati sebuah ruangan luas, di lantai 3 sebuah building di Darrasah. Setiap malam Selasa dan Jumat, aula ini dipadati ratusan jemaah sejak bakda Magrib. Biasanya, malam Jumat, aku shalat Isya di sini, lalu mengikuti acara tarekatannya, dan akhirnya baru ke Ja’fariyah tadi.

Tentu saja, di Burhamiyah, gaya dzikirnya lain lagi, bukan sekedar shalawat seperti di Ja’fariyah. Kami tidak mendapat santapan jasmani yang memadai seperti tadi. Hanya saja, di Burhamiyah ini, usai berdzikir kami disuguhi segelas syay, plus asbak. Artinya, jemaah diperbolehkan merokok.

Di Burhamiyah, kami melafalkan wirid / dzikir khusus, sambil berdiri berjejer hadap-hadapan, dalam posisi lampu dimatikan. Mulanya, dzikir dilafalkan dengan pelan, lama-lama meninggi. Badan pun bergerak ke kiri ke kanan, mirip penari. Tapi tentunya beda dengan goyangan maut-nya Inul Daratista, atau goyang Karawang yang sering diajarkan ibuku dulu.

Semakin lama, gerakan tubuh semakin kuat. Sesekali tangan melambai-lambai ke atas, sementara lutut bergetar-getar. Mirip orang-orang tripping di diskotik. Ritual ini kami laksanakan selama 30 menitan. Lumayan bikin pegal, kadang berkeringat. Dalam suasana seperti ini, aku sering menyaksikan jemaah lain, berteriak-teriak histeris, atau menangis keras. Lagi-lagi aku hanya bisa ikut-ikutan menangis. Meski beda motifnya ; mereka menangis karena khusyu dzikir, sedangkan aku menangis karena ingat kampung halaman.

Tarekat Burhamiyah sebenarnya berpusat di Damanhur, kota propinsi 160 km Barat Kairo. Arah ke Iskandariah. Setiap malam Jumat –menurut cerita seorang kawan - pusat tarekat Burhamiyyah di sana, selalu ramai oleh jemaah. Sedangkan pada malam Selasa, grand syekhnya (sory, lupa namnya) menggelar pengajian di kantornya yang di Kairo. Aku senang menghadiri ceramah-ceramahnya, karena gaya beliau sangat khas, tidak seperti halnya imam tarekat lainnya. Sang grandsyekh, berbadan tegap, berusia muda, berkumis tebal mirip Saddam Hussein, berkulit agak kehitaman, karena keturunan Sudan. Setiap acara pengajian, beliau selalu memakai jas dan tentu saja berdasi. Beliau tidak suka orang berdiri menghormati kedatangannya, apalagi kalo dicium tangannya. Pemikiran-pemikirannya juga, sejauh yang aku fahami, sangat moderat. Gaya ceramahnya komunikatif, dengan bahasa merakyat, mirip Aa Gym. Hanya saja, bobot ilmiahnya nampak lebih kentara. Usai ceramah, beliau menggelar tanya jawab. Nuansa doktrin di tarekat ini, nyaris tidak ada. Beberapa kali aku menyaksikan isi ceramah beliau didebat secara serius oleh jemaahnya. Sesuatu yang kayaknya jarang terjadi dalam tradisi sufi.

Berdzikir serius dalam keremangan, juga kualami di tarekat Naqsabandiyyah. Irama shalawat dan dzikir dibaca serentak, dipandu oleh seorang imam. Sementara lampu dimatikan. Di Mesir, tarekat ini berpusat di Shubra al Kheimah, pinggiran kota Kairo. Cabangnya yang di kota Kairo, masih di kawasan Darrasah, seberang Kantor Grand Syekh Al Azhar, dekat dengan komplek pemakaman. Setiap malam Jumat, mesjid tarekat ini juga selalu ramai. Dibanding dengan tarekat lain, Naqsabandiyah memiliki anggota orang-orang Indonesia di Mesir yang lumayan banyak.

Di tanah air, tarekat Naqsabandiyah digabungkan dengan Qadiryiyah, sehingga namanya pun Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN). Dalam tradisi TQN di tanah air, dzikir itu ada dua macam ; dzikir khafi dan jahar. Dzikir khafi – yakni mengucapkan lafadz la ilaha illallahu dalam sanubari dengan mata terpejam - adalah ajaran Naqsabandiyah, sedangkan dzikir Jahar –yakni mengucapkan la ilaha illallahu secara berjamaah dengan suara keras nyaris teriak - adalah ajaran Qadiriyyah. Keduanya menjadikan puluhan ayat Al Quran dan Hadits sebagai sandaran teologis. Saat di pesantren dulu, aku sempat mencoba menghafal dalil-dalilnya. Tapi, ngga hafal-hafal, hehehee...

Lain Naqsabandiyyah, lain pula Rifa’iyyah. Tarekat ini berpusat di mesjid Rifa’iyah, di kawasan Sayyidah Aisyah dekat benteng Shalahudin, agak dekat dari rumah tinggalku. Didirikan oleh Syekh Syubbak Hafidz Rifa'I, seorang ulama sufi abad pertengahan. Di mesjid yang didalamnya terdapat makam diktator Iran Reza Pahlevi ini, setiap bakda shalat jumat, ada ritual dzikir bersama, dalam posisi duduk melingkar, dengan mata terpejam. Salah satu bacaannya adalah asma Allah “Ya Hayyun”, artinya Wahai Yang Maha Hidup, dibaca secara bersama dalam intonasi cepat. Saking cepet dan khusu’nya, para jemaah menyebutnya, hay,hay,hay, mirip orang China di Indonesia.

Burhamiyah, Ja’fariyah, Naqsabandiyah dan Rifa'iyyah, ibarat setetes air dalam luasnya samudera mutiara hikmah mutu manikam di negeri piramid ini. Mereka hanyalah sebagian diantara sekian puluh gerakan tasawuf yang berada di Mesir. Selainnya, ada Qadiriyah (memiliki pengikut banyak di tanah air), Syadziliyah, Rifa’iyyah, Sanusiyah, Ahmadiyyah, dan lainnya. Hampir semuanya, berpusat dan memiliki mesjid di kota Kairo. Setiap tanggal 12 Rabi'ul Awal, semua kelompok tarekat itu mengadakan karnaval tarekat, bermula dari terminal Darrasah, dan berakhir di Mesjid Hussein. Mesjid ini dipilih, karena Imam Hussein adalah ahlul bait terdekat kepada Nabi, yang makamnya ada di Mesir. Dan juga karena semua tarekat memliki silsilah kepada Ali bin Abi Thalib, ayah sang Imam.

Nah, tanggal 12 itu, puluhan ribu jemaah, menggunakan pakaian khas tarekat masing-masing. Umbul-umbul dan spanduk warna-warni menjadi hiasan. Aroma kemenyan-kemenyan itu juga ada. Sepanjang jalan, mereka membaca shalawat dan dzikir khas masing-masing. Unik-unik juga. Dalam hal-hal beginian, orang Mesir memang layak diacungi jempol. Barangkali mirip dengan perayaan Sekaten atau Muludan di Kraton Yogyakarta. Terlepas dari masih ramainya pro-kontra tentang keabsahan tasawuf di dunia Islam, semua ritual tarekat ini dianggap sebagai – salah satu - refleksi kecintaan pada baginda Nabi saw, dan jalan meraih ridha Allah. Subhanallah.

Pinggiran Nil, 15 Mei 2003

1 comment:

  1. Ass, ya akhi, salam kenal, tulisan anda bagus, tapi kalau boleh kasih saran, tolong dirubah dong diatas foto masjid Sayyidah Nafisah tertulis "Masjid-masjid bau kemenyan" yang menurut al-faqir sepertinya kurang pantas, karena kemenyan kan identik dengan perdukunan (kemusyrikan) sementara masjid itu, masjid thoriqoh (ada kegiatan suatu thoriqoh) yang tentu berbeda dengan dukun. Gimana kalo bau gaharu, kan lebih halus kedengarannya. Jazakumullah atas perhatiannya.

    ReplyDelete