Thursday, October 14, 2004

Mutiara di Al Azhar

Mutiara berserakan di Mesjid Al Azhar

Pelataran dalam Mesjid Al Azhar, di suatu pagi



Dingin pagi musim semi yang menusuk pori-pori, kerap tak kupedulikan. Dalam keremangan, kuberanikan diri keluar meninggalkan rumah, naik bisa kota, menuju mesjid Al Azhar.

Dalam beberapa minggu terakhir ini, setiap menjelang pukul 07.00 pagi, aku selalu berada di mesjid Al Azhar. Syekh Ali Jum’ah, ulama besar doktor Azhar yang juga imam besar mesjid, mengadakan acara pengajian kitab kuning setiap hari –kecuali Kamis dan Jumat - mulai pukul 07.30 hingga 11.00. Aku senang mengikutinya. Pengajian ini selalu mengingatkanku pada kenangan lama, kala mengikuti pengajian sorogan pada seorang kyai yang amat kuhormati di pesantrenku dulu, 8 tahun lalu. Di negeri Firaun ini, aku merasakan suasana itu kembali hadir, dari sosok Ali Jumah. Dari beliau, aku bersama ‘santri’ lainnya yang kebanyakan orang Mesir, belajar ilmu Fikih, Ushul Fikih, Nahu dan Hadits. Kitab yang kami baca setiap pagi adalah Al Muwatha, At Tamhid dan Kawakib Ad Duri.

Para santri, biasanya menanti kedatangan syekh, di pelataran dalam mesjid. Macam-macam perilaku mereka. Ada yang ngobrol ngalor ngidul, ada yang baca buku, dan ada juga yang mengulang hafalan Al Quran. Ada juga yang tidur, hehehee...

Jika Syekh tiba, segera kami menyambutnya, rebutan menciumi tangannya, sambil berjalan menuju ruang belajar di dalam mesjid Al Azhar, bersama-sama. Begitu juga saat pulang usai ngajar. Beliau selalu kami antar hingga gerbang depan. Nah, selama perjalanan itu pula, rentetan pertanyaan santri seolah tak pernah reda. Dan beliau selalu menjawabnya dengan bijak, tenang, serta jawaban-jawaban memikat. Memikat dalam arti moderat, tidak menghakimi, komparatif, ilmiah, dan sarat dengan refernsi dalil, baik al Quran, Hadits, maupun kaidah Ushul.

Santri tetap-nya, ada sekitar 40-50 orang. Wajah-wajah mereka, selalu kutemui setiap pagi. Selain itu, ada juga yang tidak tetap. Kadang ada, kadang tidak. Ya, seperti aku ini, yang hanya datang kalo kebetulan bangun pagi. Dan dari 40-an orang itu – kalo dilihat dari tampangnya - kebanyakan berusia dewasa. Dari jumlah 40-an santri tetap itu pula, ada dua orang kawan Indonesia, yang mengaku telah mengikuti pengajian ini secara aktif, sejak 2-3 tahun terakhir. Mereka berdua juga telah dikenal baik oleh Syekh. Setiap pengajian mulai, merekalah yang selalu mempersiapkan kitab untuk Syekh, memasang mikrofon, serta mengambilkan air minum. Aku sangat kagum pada semangat mereka berdua. Jujur, aku belum bisa seperti mereka. Oya, kami adalah para santri multi etnis, ada si hitam dari Afrika, ada si bule dari Eropa pinggiran, ada si sipit dari China, dan ada juga si ganteng dari Sukabumi (maksudnya aku sendiri, hehehehe).

Sistem belajar, mirip yang kualami di pesantren dulu. Santri baca kitab sambil duduk lesehan, lalu guru menjelaskan. Kami mengikuti pengajian dengan khidmat, penuh hormat pada syekh. Maklum, syekh Ali Jumah adalah salah seorang ulama kharismatik, dihormati dan sangat berpengaruh di Mesir. Sebagai seorang doktor, beliau memiliki metode mengajar yang sistematis, ilmiah, tidak terlalu doktrin, dan tentu saja menghargai kebebasan berpendapat. Usai pengajian, kami mencium tangan syekh Ali, yang pernah menjabat sebagai direktur IIIT Mesir ini secara bergiliran.

Lokasi belajar kami, adalah sebuah lokal seukuran kelas di sekolah-sekolah tanah air, di salah satu sudut kanan mesjid Al Azhar. Di sudut mesjid lainnya, ada juga program pengajian seperti ini, tentunya dengan materi dan guru yang berbeda. Satu diantara yang kadang kuikuti adalah pengajian bersama ustad Umar, seorang kyai muda, belum bergelar syekh, dengan materi tetap, yaitu kitab fiqh, Fathul Qarib alias Taqrib. Beliau mengajar setiap lepas shalat subuh, hingga pukul 07.30. Para santri tetapnya, para mahasiswa S1 Azhar yang tinggal di asrama, berjumlah belasan orang. Aku jarang mengikutinya, selain karena waktunya yang terlalu pagi, juga karena materi fiqh, sering terasa membosankan. Jika Syekh Ali bepergian ke luar kota selama berhari-hari, biasanya pengajian Ustad Umar ini dilaksanakan lebih lama, hingga jam 10-an.

Selain pengajian sykeh Ali Jum’ah dan ustad Umar, masih ada pengajian kitab lainnya. Kalo kita masuk mesjid Al Azhar pagi hari sekitar pukul 10-an, maka kita akan menjumpai beberapa halqah (sekumpulan orang duduk melingkar), sambil mempelajari kitab tertentu. Orang Mesir menamakannya pengajian talaqqi. Materinya macam-macam, dari mulai fiqh, ushul Fiqh, Tasawuf, hingga ilmu Mantik. Di sebuah dinding ruangan belajar kami, ada jadwal tertulis. Plus lokasi dan waktu pengajiannya. Tinggal kita pilih, mau yang mana. Dan semua tidak dipungut biaya alias gratis.

Di sebelah kanan gerbang utama mesjid, terdapat sebuah ruangan khusus bagi para penghafal Al quran. Di pintu ruangan itu tertulis : Madrasah Tibrasiyyah Li Hifdz Al quran. Seorang sykeh Azhar menjadi pengasuh tetap, yang selalu nongkrong disana setiap harinya. Bagi kita yang ingin menghafal ayat-ayat suci, tinggal rajin saja datang ke tempat ini.

Setiap hari jumat, mesjid yang dibangun pertama kali oleh dinasti Fatimiyah (penguasa Mesir yang bermadzhab Syiah) pada abad 9 Masehi itu, selalu dipadati ribuan jemaah. Aku juga sering menyempatkan diri shalat Jumat disana. Soalnya, Grand Syekh Azhar, Dr Sayyed Thantawi, sering menjadi khatib di sana. Beliau adalah pimpinan tertinggi lembaga Al Azhar, yang dalam jajaran struktural pemerintahan Mesir, berada di posisi setingkat dibawah Perdana Menteri. Artinya, ia masih lebih tinggi daripada menteri kabinet kepala departemen. Karena itulah, setiap jumat, mesjid Al Azhar selalu dikelilingi oleh aparat keamanan, baik yang nampak maupun yang tidak (intel). Isi khutbahnya, selalu berbobot ilmiah, lugas, memuat pemikirannya yang dikenal moderat.

Mesjid Al Azhar, memang sarat dengan mutiara, permata mutu manikam. Selagi aku di sini, di dekatnya, aku tak ingin menyia-nyiakannya.

Pinggiran Nil, Awal Mei 2003


No comments:

Post a Comment