Tuesday, October 12, 2004

Kairo Kota Tua

Kereta-Kereta di Kota Tua


Mesjid-mesjid tua di kawasan Old Cairo


Kairo, Kamis Siang, 2 September 2004. Tak ada yang berubah dengan suasana di dalam Metro Anfak – sebutan untuk kereta dalam kota di Kairo – siang itu. Seperti yang biasa kusaksikan, ratusan penumpang berjejalan, aroma ketek dan keringat orang Mesir pun menyengat semerbak. Maklum, jam 14-an begini, rame-ramenya orang pulang kerja. Sekali-kali terdengar suara orang berantem, cek cok adu mulut, rebutan tempat duduk atau karena hal lainnya. Tapi satu hal : tak ada anarkisme fisik. Orang Mesir kalo berantem, pake prinsip NATO, No Action, Talk Only.

Aku kebagian tempat dekat jendela. Berdiri, tentu. Kusandarkan tubuhku pada dinding kereta yang usang. Pandangan mataku menyapu pemandangan di sekitar stasiun Sakanat Al Maadi yang baru saja kulewati. Kala kereta bergerak perlahan ke arah kota, aku sempat tertegun sesaat. Halte stasiun sepanjang 200-an meter itu kutatap lama. Entah kapan aku akan menegokmu lagi, bisik hatiku lirih.

Sejak 2 Agustus lalu, setiap hari aku lewat ke stasiun ini, kecuali hari Jumat dan Sabtu. Biasanya, pukul 10 aku tiba, lalu pukul 2 siang aku kembali. Dan Kamis siang ini, adalah kali yang ke-24, sekaligus yang terakhir. Entah esok hari, entah lusa nanti. Kubilang entah, karena tugasku sudah selesai hari ini.

Maadi, 20-an km arah timur dari pusat kota Kairo, adalah kawasan elit. Harga sewa apartemen di sana diatas $ 1000 perbulannya. Bandingkan dengan harga apartemen di Nasr City, kawasan hunian mahasiswa Indonesia, yang harganya kurang dari $ 100 per bulannya. Tetapi, kawasan Maadi berwawasan lingkungan, rimbun pepohonan. Jalan-jalan di Maadi, serasa di tengah kota Bogor. Hijau dan rindang. Dari kediamanku, Maadi bisa dijangkau dengan Metro Anfak itu.
* * *
Siang itu, mendadak aku merasa tak ingin melewatkan setiap detik berlalu begitu saja. Inilah khan perjalanan terakhir, hatiku berbisik lagi. Pemandangan sepanjang 9 stasiun yang menuju arah kota, akan kunikmati abis. Kala kereta melewati stasiun pertama, Al Maadi, hatiku berdetak hebat. Stasiun ini akan selalu kukenang. Beberapa waktu lalu, aku pernah naik kereta bersamanya, si buah hati belahan jiwa, dari stasiun ini. Di sebuah senja yang indah.

Rel kereta menembus komplek perkampungan kaum miskin kota, deretan gedung-gedung berwarna padang pasir, dan sesekali tepian Nil. Apartemen menjulang tinggi, dihiasi jemuran para penghuni, nampak kumuh, sumpek dan berdebu. Ya, inilah Kairo, kota tua yang tak pernah rapi, kota metropolitan yang mirip kawasan bekas perang. Seorang petinggi dari Jakarta bilang bahwa Kairo laksana bencong ; kelihatan cantik hanya waktu malam hari saja.

Kala lewat ke stasiun Az Zahra – stasiun ketiga setelah Maadi- aku selalu menengok ke arah sungai Nil, yang terletak 50-an meter di belakang stasiun. Air Nil yang tenang itu memang tak terlihat, terhalang benteng tepian rel setinggi dua meteran. Tetapi, atap bangunan pom bensin dan merk iklan sebuah kapal penyedia tari perut Nile Crystal nampak jelas. Nile Crystal, hanyalah satu diantara belasan kapal besar penyedia diskotik terapung yang ada di sepanjang Nil. Beberapa kali aku pernah masuk ke sana, mengantar tamu dari Jakarta. Dengan uang 105 Pound (sekitar 150 ribu rupiah), para penumpang akan disuguhi hidangan makan malam buffet dinner berstandar internasional plus 3 atau 4 macam tarian selama 2 jam. Tentu saja, salah satunya adalah tarian pengumbar pusar wanita cantik alias tari perut yang kesohor itu.

Setelah Az Zahra, stasiun berikutnya adalah Mar Girgis. Sekilas nampak tak ada yang istimewa dengan kawasan ini. Gedung stasiunnya sederhana, suasana sekitarnya juga sama dengan yang lainnya ; tak rapi. Tetapi, daerah ini sebenarnya menyimpan nilai sejarah yang mengagumkan. Stasiun ini berada di kawasan Old Cairo, yang pada zaman dahulu ditinggali oleh orang-orang kristen Coptic Cairo. Disini, dalam daerah satu kilometer persegi, terdapat lima gereja kuno – diantaranya Hanging Church, St. George Church, dan sebuah gereja orthodoks - mesjid kuno dan Ben Ezra, sebuah synagoge kuno dan tertua di Mesir - dibangun pada abad IV Masehi. Bangunannya memang kecil-kecil dengan interior yang masih tetap seperti dulu.

Kini, kawasan ini adalah salah satu obyek wisata agama terkenal di Mesir. Turist yang berkunjung di sini harus berpakean yang menutupi dada dan paha, sehingga mereka dapat masuk ke gereja, mesjid dan synagoge. Jalanannya nampak bersih, tetapi sempit dan banyak undakan undakan yang sukar dilalui oleh orang tua. Seorang tamu pejabat dari Jakarta yang pernah kuantar jalan-jalan di daerah ini terkagum-kagum atas keharmonisan hubungan 3 agama ini - yang di beberapa negeri luar Mesir bertentangan - tetapi di sini bisa berkoeksistensi dengan baik; dengan jarak masing masing sangat dekat.

Dua stasiun setelah Mar Girgis, bernama stasiun Sayyida Zenab. Dinamakan demikian karena di dekat stasiun ini ada sebuah mesjid besar yang didalamnya terdapat makam Sayyida Zenab, saudara perempuan Husein, cucu Rasulullah saw, dari pasangan Fatimah Az Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Bagi kaum perempuan Mesir, Sayyidah Zeinab adalah figur ideal yang harus diteladani. Ia adalah wanita suci yang dinilai memiliki barakah bagi keberuntungan dan kesehatan. Tak heran, jika maqamnya selalu ramai dikunjungi peziarah, terutama Kamis malam dan Jumat siang.

Beberapa kali aku pernah berziarah ke makam Sayyidah Zenab, yang terletak di sebuah ruangan seluas 120-an meter persegi, dalam mesjid. Mesjidnya sendiri berukuran sekitar 8000 meter persegi. Pusaranya berupa bangunan berukuran 3 kali 4 meter. Tingginya sekitar 3 meter. Aroma semerbak bunga terasa menyengat di dalam ruangan. Peti pusaranya dibungkusi kiswah, kain tipis semodel gaun pengantin wanita berwarna putih. Di beberapa sudutnya bertaburan bunga. Sebuah mushaf Al Quran berukuran besar dibiarkan terbuka, tersimpan di sebelah pusara. Seperti halnya maqam Imam Husein, dinding ruangan makam Zeinab juga dilapisi marmer warna warni, dengan kubah besar di langit-langitnya. Ah, pokoknya tertata rapi.

Setiap usai Jumat, berbagai kelompok tarekat antri masuk makam. Seperti yang pernah aku saksikan dua bulanan lalu, lima puluhan lelaki penganut tarekat Syadziliyah kompak masuk ruangan, seraya langsung mengumandangkan shalawat khas bersama-sama. Suaranya memekakkan telinga. Wajah-wajahnya sangat ekspresif berapi-api. Hampir semuanya memakai selendang biru bertuliskan 'al atha'iyyah at thariqah as syadziliyyah ahbab baitillah' . Beberapa saat sebelum masuk ruangan maqam, mereka menggelar ritual dzikir sambil berdiri bergoyang-goyang, meliuk-likukan tubuh , sekitar 30 menitan, di ruangan dalam mesjid. Seorang lelaki bersorban putih memimpin ritual shalawat dan dzikir itu, dengan penuh semangat. Dalam suasana desak-desakan di depan maqam, seorang lelaki tua keliling mengusap-usap pakaian peziarah. Rupanya, tangannya dilumuri minyak wangi. Ujung-ujungnya jelas ; minta sedekah alakadarnya.

Ah, setiap jengkal tanah di kota tua ini memang sarat dengan nilai sejarah. Tak cukup satu-dua jam untuk bertutur tentangnya – atau setidaknya melamunkannya. Apalagi jika penuturan itu dilakukan dari atas sebuah kereta dalam kota yang tengah berlari kencang. Ashli, tak bisa rinci euy.... Karena aku harus segera bersiap-siap turun, di Tahrir, stasiun pusat kota yang sebentar lagi akan kusambangi.

Pinggiran Nil, senja 10 September 2004

No comments:

Post a Comment