Wednesday, October 13, 2004

Penganten Sunda

Bandung Van Egypt

Tim Gamelan Sunda di acara NU Mesir, dihadiri KH Mustafa Bisri


Tiga ratusan orang Indonesia yang hadir di gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kairo senja Kamis (12/8) pekan lalu, mungkin takkan merasa sedang berada di Mesir. Tetapi, merasa sedang berada di kota Bandung nun jauh di sana. Ya, setidaknya selama 50 menit menjelang Maghrib, kala prosesi pernikahan Aulia Mahfudah binti Sirdjanul Ghufron dengan Gunna Satria Hijrah Kusuma bin Edi Sukardi dilangsungkan secara adat Sunda.

Pukul 18.30-an tepat senja itu, kala tepuk tangan meriah para penonton seolah tak terbendung mengiringi hingar bingarnya instrumen Kebo Jiro, sebuah lagu Sunda yang kami mainkan, sebagai pertanda upacara akan segera dimulai. Lalu, 5 orang pengawal dan 7 dayang, di bawah pimpinan Mang Lengser berjalan dalam iringan lagu berirama slow, Cing Cangkeling dan Kabaya Bandung. Mereka berjalan menuju pintu gerbang, guna menyambut keluarga mempelai lelaki. Para pengawal berjalan gagah, sambil membawa umbul-umbul berwarna-warni, serta payung kebesaran yang diputar-putar. Para dayang membawa bunga yang ditaburkan sepanjang jalan. Mereka, yang berseragam tradisional itu, berjalan teratur, lenggokan tubuh nan gemulai, dengan iringan musik gamelan.

Kala keluarga mempelai pria berhadapan dengan keluarga mempelai wanita, ibu mempelai wanita mengalungkan bunga dan menyelipkan keris pada ikat pinggang mempelai pria, diiringi kata-kata penyerahan dan penerimaan dari kedua pihak. “Haturan deudeuh haturan, haturan bagea sumping, bagea sumangga linggih, bagea teuing duh anaking...”, demikian kawih merdu sang sinden kala mengiringi prosesi ini. Menjadikan suasana semakin khidmat. Kemudian, acara berlanjut dengan prosesi buka pintu, menginjak telur, sawer pengantin, bakar harupat, memecahkan kendi, melepas burung merpati dan huap lingkung. Tentu semua adegan itu tidak hampa makna, melainkan menyiratkan sederet pesan berharga bagi kedua mempelai. Oya, selama adegan-adegan itu berlangsung, tak sedetik pun waktu berlalu tanpa gending gamelan, lembutnya alunan suara sinden, atau sekedar irama merdu seruling.

Ah, pokoknya aku yang sore itu berada di panggung karena kebagian memegang saron - salah satu perangkat gamelan yang berfungsi melodi - nyaris tak mampu menahan rasa haru. Gerak tarian Mang Lengser yang lucu, alunan kawih parahyangan suara emasnya Sisca Nurcahya, sinden muda berbakat itu, serta lenggok gemulai para penari, dalam iringan apik musik gamelan Sunda, telah mengingatkanku pada memori-memori lawas, kala sering menyaksikan acara-acara serupa di Tanah Sunda nun jauh di sana, dulu. Ya, dulu, karena semua itu telah berlalu. Sedangkan kini, aku sedang memainkan gamelan dan menggelar upacara adat Sunda di Tanah Arab, sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku dan kawan-kawan mahasiswa Jawa Barat, sesama kru lingkung seni Gentra Pasundan seolah sedang berusaha menghadirkan nuansa Sunda di kota Kairo ini. Lewat gamelan, serasa kami sedang menghadirkan Bandung Van Egypt, nuansa kota Bandung di negeri pyramid ini.

Pinggiran Nil, Senja 17 Agustus 2004

No comments:

Post a Comment