Friday, October 22, 2004

SSM 9 : Asyura ala Mesir

Getar Asmara Hari Asyura

Para peziarah di makam kepala Imam Husein


Ruangan yang lebarnya tak lebih dari 100 meter persegi itu penuh sesak. Suara orang baca doa, lantunan ayat Quran, jerit tangis, hingga hardikan bawwab, bercampur menjadi satu. Aku, yang tiba ke sana menjelang pukul 21, mencoba menerobos masuk. Kupaksakan tubuh kurus-ku menyelinap di sela-sela tubuh orang-orang Arab yang tinggi besar. Dan Alhamdulillah, tanganku bisa juga meraih pagar besi itu. Bangunan kecil tempat kepala Imam Husein disemayamkan, akhirnya bisa kupandangi dari jarak 1 meter saja. Masih terhalang pagar besi pembatas itu. Sementara, di balik pagar, puluhan pria dan wanita berpakaian serba putih, berdesakan menciumi dinding makam. Aroma wangi semerbak masuk ke hidung. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar bermuka bersih, berdiri di sampingku, seraya berteriak dengan bahasa yang tak kukenal. "Colo Jali, Colo Jali", kata dia. Matanya melotot, sementara tangannya nampak melambai-lambai pada orang-orang yang sedang menciumi dinding makam itu.

Makam Imam Husein pada malam 10 Muharram (Asyura), hampir mirip suasana Ka'bah depan hajar aswad kala musim haji. Atau mirip suasana di makam Rasulullah, di Medinah. Ruame sekali. Ribuan peziarah, rela antri berdesakan. Dari yang berkulit hitam ala Afrika, hingga yang bermata sipit kayak si China. Dari orang-orang bersih berminyak wangi, hingga orang-orang Mesir kampung yang berbaju lusuh tak rapi.

Malam itu, kusaksikan sekelompok besar peziarah berseragam putih bersih ; lelakinya berpeci –juga putih, berhiaskan gambar bunga-bunga- sedangkan para wanitanya memakai jilbab dengan corak khusus, juga putih, dengan aneka warna bunga pula. Si Bapak yang teriak-teriak tadi, berbaju serupa. Juga anak-anak kecilnya. Tampang mereka, blasteran Arab-Pakistan. Kayaknya, mereka orang-orang Syiah dari Iran. Aku yakin itu, karena putih wajah mereka mirip Khatami atau Imam Khumaeni. Anak-anak kecilnya juga mirip Amir Farrokh Hashemian, pemeran tokoh Ali, dalam felm The Children of Heaven, film Iran garapan sutradara Majid Majidi yang meraih 3 penghargaan dalam Montreal World Film Festival 1997 itu.

Tetapi ternyata, dugaanku meleset. Mereka bukanlah orang Iran, melainkan dari negeri sungai Gangga, India. Itu kutau setelah satu diantara mereka kusapa. Rata-rata memang keturunan Iran, dan tentu saja, orang-orang Syiah. Karena itulah, kulit mereka, putih bersih, wajah-wajahnya pun berbeda dengan tampang khas India yang kerap nongol di felm semisal Hirthik Roshan, Amitha Bachan, atau Sridevi. Setelah tau bahwa mereka itu orang India, aku pun sadar, berarti Colo Jali itu rupanya bahasa Urdu.

Perilaku mereka di depan makam, sangat khas, berbeda dengan peziarah kebanyakan. Mereka berputar-putar mengelilingi makam sang Imam, sebagian lagi diam terpekur depan pusara. Beberapa diantaranya menangis terisak, bahkan ada yang menjerit-jerit. Wajah-wajah mereka menyiratkan gairah spiritual yang ekspresif. Seorang Ibu muda memangku bayi mungilnya yang sedang tidur. Bayinya itu, didekatkan pada dinding makam, seolah disuruh menciumi dinding. Aneh-aneh saja.

Ruangan dalam mesjid, juga penuh. Tetapi, tidak terlalu sesak. "Tadi magrib, lebih rame lagi", ujar seorang pemuda Mesir yang sempat kusapa. Seorang qari nampak melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Beberapa orang ulama besar Al Azhar memakai peci merah, duduk berderet dekat mihrab. Sepertinya sedang ada acara seremonial tertentu.

Halaman luas depan Mesjid Husein juga dipadati ribuan orang. Macam-macam perilaku mereka. Ada yang hanya duduk-duduk, ngobrol-ngobrol, ada yang asyik baca Al Quran, hingga ada juga yang bergerombol membaca wirid-wirid tertentu secara bersama-sama.

Begitulah, mesjid Imam Husein, di hari Asyura. Sejak awal Muharam, lampu warna warni menghiasi dinding luar mesjid yang dibangun sekitar abad 9 Masehi itu. Para peziarah, mulai memadat. Dan puncaknya, malam 10 Muharram itu.
"Kami memperingati wafatnya Imam Husein", ujar seorang warga Mesir yang mengaku bernama Gamal. Lelaki setengah baya ini mengaku sengaja datang bersama keluarganya dari Zaqaziq, sebuah kota propinsi Mesir, sekedar untuk menghadiri acara haul Imam Husein, di hari Asyura.

'Asyura berasal dari kata 'asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharam yang diperingati umat Islam sebagai hari berkabung untuk memperingati wafatnya Imam Husein bin Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 61 H / 680 M di Karbala, tepi sungai Eufrat, atau 95 km barat daya Baghdad, Irak. Kala itu, seluruh laki-laki dalam keluarga Husein dibunuh, kecuali putera terkecilnya, Zainal Abidin. Kaum perempuannya disuruh berjalan ke Damascus tanpa hijab.

Orang-orang Syiah memperingati acara ini dengan gaya yang khas, terkadang berlebihan. Dalam Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pada masa khalifah Muiz ad Dauli, seorang khalifah dinasti Buwaihiyyah (932 M-1055 M) yang berhaluan Syiah, bazaar-bazaar ditutup, orang-orang keliling kota sembari menangis, meratap, menutup kepala dan berbaju hitam. Sementara, para perempuannya berbaju kusut. Dengan cara itu, mereka mengenang perjuangan Husein bin Ali dalam menegakkan kebenaran. Mereka bershalawat atas Nabi SAW dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husein dan keluarganya itu, serta memperagakan berbagai atraksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husein bin Ali.

Ekspresi kecintaan umat Islam Mesir terhadap Imam Husein dan keluarga Nabi, sangat menarik untuk ditelusuri. Mesjid-mesjid ahlul bait, yang didalamnya ada makam keluarga Nabi, terawat rapi, dan setiap saat selalu ramai dikunjungi orang. Apalagi makam Imam Husein itu. Aktifitas ini bisa jadi, karena didasari oleh sebuah hadits Nabi saw : Inilah kedua cucuku! Siapa yang mencintai keduanya maka ia mencintaiku dan siapa membenci keduanya maka sesungguhnya ia membenciku.

Kini, di kawasan Old Cairo, sebutan bagi ibukota Mesir masa dinasti Fathimiyah (sekitar 1000 tahun lalu), terdapat beberapa makam keluarga Nabi yang tersimpan di mesjid. Misalnya saja, Sayyidah Aisyah, Sayyidah Zeinab, dan Sayyidah Nafisah. Tetapi, Mesjid Imam Husein merupakan yang paling terkenal. Di dalamnya, konon, ada makam kepala cucu kesayangan Rasulullah ini. Aku katakan konon, karena hingga detik ini, lokasi makam kepala sang Imam, masih kontraversi. Apakah benar kepala sang Imam itu berada di mesjid ini atau tidak, belum ada kepastian. Majalah budaya terbitan Kairo Al Qahirah edisi pertengahan 2003 lalu, pernah melaporkan adanya 8 lokasi yang diklaim sebagai makamnya kepala sang Imam. Tetapi nampaknya, kontraversi itu tak digubris oleh para peziarah. Isak tangis mereka malah semakin mengeras, seiring dengan malam yang melarut. Hingga tak ada kata yang paling pas untuk menjelaskan perasaan mereka kala itu, kecuali cinta..


Pinggiran Nil, 20 Maret 2004

No comments:

Post a Comment