Tuesday, October 12, 2004

Petualangan Masa Lalu

Bertualang Ke Ujung Dunia.

Sabtu menjelang senja, akhir Februari 1999. Minibus Pusaka yang kami tumpangi berjalan terseok-seok, menyusuri jalan licin berliku-liku, membelah rimbunnya kebun teh yang terkenal indah, di kawasan Puncak, Bogor. Empat puluhan mahasiswa aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat terpaksa menahan nafas dibuatnya. Tegang. Jangan-jangan bisnya mogok kala jalan mulai menanjak.

Ternyata benar. Di sebuah tikungan tajam, seratusan meter di bawah Mesjid At Ta'awun yang megah itu, bis butut itu berhenti total. Mesin menderu-deru kencang. Tapi bis tetap tak bergeming. "Saya pasrah. Hanya bisa ngantar sampe sini. Maaf", ujar sopir memelas. Sebagai penanggungjawab transportasi, aku protes keras. Tetapi bis tetap mogok. Terpaksa kami turun. Kawan-kawan menggerutu. Bis si jago mogok itu kembali ke Jakarta.

Jalanan nampak padat. Maklum, kawasan Puncak, menjelang malam minggu. Kawan-kawan mahasiswa bergerombol di pinggiran jalan, memegang ransel masing-masing. Sebagian duduk-duduk di sela-sela rimbunnya kebun teh. Berpasangan, ketawa haha-hihi. Seolah tak peduli dengan kepanikan panitia. "Sialan", umpatku geram. Cuaca mulai remang-remang. Adzan maghrib terdengar berkumandang.

Bersama ketua rombongan, aku sibuk mencegat mobil kosong yang mau mengantar kami ke Cipanas, lokasi tujuan. Masih sekitar 10 km lagi. Dekat Taman Nasional Cibodas yang terkenal itu. Kami, para aktifis PMII Syariah, bermaksud mengadakan acara Rapat Tahunan Komisariat (RTK) di sebuah vila milik Lutfi Muhtar SE, Ketua Lembaga Perekonomian Nahdhatul Ulama (LPNU) kala itu, di kawasan Cipanas.

Beberapa menit kemudian, sebuah truk uncle bak terbuka, bersedia membawa kami. Setelah berbasa-basi, sopir setuju dengan harga 20 ribu rupiah. Spontan, kawan-kawan berloncatan ke atas truk. Beberapa rekan sibuk membantu para mahasiswi naik.

Begitulah, perjalanan senja itu sangat berkesan. Empat puluhan manusia, pria-wanita kaum muda, berdiri berdesakan dalam truk sempit selama hampir 20 menitan, dalam sebuah keremangan senja menjelang malam. Lokasinya ngga tanggung-tanggung; kawasan molek kebun teh Puncak yang terkenal itu.

Berbagai teriakan, umpatan, cacian, gerutu, sekaligus canda spontan rekan-rekan selama perjalanan, seolah menghangatkan suasana, di tengah kencangnya angin dan udara menusuk, diatas truk yang ngebut.

* * *
Salah satu kesan manis yang kurasakan selama menjadi mahasiswa di IAIN Jakarta adalah kenyang pengalaman jalan-jalan secara gratis. Seperti dalam kisah diatas. Lewat kegiatan organisasi, puluhan kali aku menginap di villa-villa mewah di kawasan Puncak, atau kemping berhari-hari di taman-taman wisata nan molek di Sukabumi, Cibodas, Bogor, dan bahkan di Ciwidey, Bandung. Tanggal 30 Sya'ban 4 tahun lalu, kubawa seratusan anak Syariah ke Palabuhan Ratu, untuk mengintip rukyat, tanda awal bulan Ramadhan, di sebuah laboratorium teropong bintang milik Departemen Agama. Kala itu, BEM-ku menggelar Training Hisab Rukyat, selama 2 hari, plus praktikum lapangan. Awal Juni 2000, tiga puluh staf baru, kuajak bersenang-senang di pantai Anyer, berkedok acara Rapat Kerja (Raker) BEM. "Untuk menguatkan ikatan emosional sesama pengurus baru", begitu alasanku kala LPJ akhir tahun.

Akhir 1999, aku bersama kawan-kawan pengurus BEM pelesiran selama 4 hari menuju Semarang, Dataran Tinggi Dieng, Borobudur, dan Yogyakarta. Setiap penjuru Malioboro dan pantai Parang Tritis, kutelusuri. Pertengahan 2000, aku berlayar ke Banjarmasin, dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Kala itu, aku mewakili BEM Syariah IAIN Jakarta, menghadiri kongres Forum Mahasiswa Syariah se-Indonesia (Formasi) III di Banjarmasin. Sepekan aku berada di pulau Kalimantan. Akhir 2001, nyaris aku menghadiri Kongers Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB-PMII) di Medan, kalau tidak segera keburu berangkat ke Kairo.

Sudah tradisi anak IAIN, setiap kali bikin acara rapat organisasi, baik itu Rapat Kerja (Raker), Sidang Perwakilan Anggota (SPA), atau sekedar musyawarah biasa, menjadikan kawasan Puncak sebagai lokasi. Gaya-gaya pejabat memang. Tetapi itu tak jadi soal. Toh anggaran juga tak pernah kurang. Proposal anggaran selalu mudah ditukar menjadi segepok uang, asal mau keliling mengunjungi perusahaan-perusahaan besar atau LSM berduit di Jakarta. Semua akan beres.

Dan aku, sebagai mahasiswa asal Sukabumi yang kebetulan aktif di organisasi, kerap dipercaya sebagai panitia dalam acara-acara rihlah ke luar. Orang Sukabumi, yang dianggap tahu lokasi-lokasi wisata di kawasan Bogor, Sukabumi dan Cianjur, memang tidak banyak di kampus IAIN Jakarta. Saat semester 3 hingga 5, aku selalu menjadi seksi transportasi dan akomodasi dalam setiap acara ke luar. Tugasnya mengasyikkan, cari bis, juga lokasi sekaligus villa untuk acara. Aku sering menjadi panitia acara BEM Syariah, PMII Komisariat Syariah, atau PMII Cabang Ciputat.

Lokasi yang paling sering kami kunjugi adalah kawasan Puncak. Ada banyak pilihan di sana. Sejak dari Cisarua, sebelum kebun teh itu. Atau juga Mega Mendung, Cipanas, hingga Cibodas. Harga villa nya pun beragam, sesuai fasilitas dan lokasi. Besar-kecilnya villa, ada-tidaknya kolam renang, biasanya menjadi kriteria utama. Dan tentu saja, aku sudah sangat hafal soal rute dan harga-harga itu.

* * *

Di sela acara-acara itu, aku selalu menyempatkan diri jalan-jalan santai. Usai acara Sidang Istimewa (SI) Majelis Perwakilan Anggota (MPA) Keluarga Mahasiswa IAIN (KMI) pada awal April 1999, aku iseng nongkrong di Puncak Pass, sebuah pelataran luas di pinggir jalan raya, yang merupakan ruas jalan dengan posisi tertinggi di jalur Puncak. Ada beberapa warung kecil disana, menjual minuman dan rokok. Asyik pokoknya, untuk tempat nongkrong. Di bawah sana, kebun teh menghampar, dengan liku-liku jalan raya dan sorot lampu mobil yang warna-warni. Indah sekali.

Kala itu, malam minggu, tepat jam 24.00 malam. Udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang. Bersama seorang kawan akrab, aku memesan bubur kacang ijo dan jagung bakar. Belum lima menit dihidangkan, makanan itu sudah dingin. Di sela-sela rimbunnya pohon teh, kulihat puluhan -atau mungkin ratusan - pasangan muda-mudi sedang mojok. Ngga tau pada ngapain. Tak terlihat jelas. Hanya dedaunan teh yang nampak jelas, bergerak-gerak.

Acara-acara sidang organisasi, biasanya dilakukan semalam suntuk, hingga menjelang subuh. Usai subuh, kami biasa jalan-jalan santai. Aku kerap membawa rombongan mahasiswa ke lokasi-lokasi wisata terkenal. Semisal Taman Bunga, Taman Cibodas, atau taman dekat Istana Cipanas. Usai kemping santai syukuran pemilu BEM di Bumi Perkemahan Pondok Halimun Sukabumi, lima puluhan kawan akrab kuajak berjalan kaki selama 2 jam, menelusuri perkebunan teh Salabintana, hutan lindung, hingga tiba di Curug Cibeureum, sebuah air terjun alami yang berair bening dan dingin, di lereng Gunung Gede. Perjalanan kami kala itu, mirip kisah Sherina dan Sadam, dalam filmnya yang terkenal itu.
April 2000, usai perhelatan akbar Kongres Formasi di Banjarmasin, aku menyempatkan diri jalan-jalan ke kota intan, Martapura. Setengah hari aku disana, menelusuri komplek pertokoan intan-mutiara khas Martapura yang kesohor itu. Saat mampir di Banjarmasin, aku menyempatkan diri menengok sungai Barito, dengan pasar tradisionalnya yang terapung itu, sebagaimana dalam iklan RCTI Oke.

Dari Banjarmasin, sengaja aku naik kapal menuju Semarang. Tak lagi Surabaya. Dua hari di Semarang, aku menginap di rumah seorang kawan, yang juga Presiden BEM Syariah-nya. Waktu yang sempit ini juga kumanfaatkan untuk berjalan-jalan sesempatnya.
* * *
Begitulah, salah satu sisi kehidupan penting yang pernah kujalani selama masa kuliah adalah pengalaman bertualang, menelusuri liku dunia. Memang tak seberapa jauh, dengan tujuan yang begitu-begitu juga. Tetapi, keindahan suka-dukanya tak terlukis dengan kata-kata. Selain dalam konteks 'kegiatan organisasi', perjalanan itu juga kerap diwarnai dengan aneka canda-tawa, caci-maki, derita, petualangan, hingga romantisme cinta. Untuk hal yang disebutkan terakhir, memang bukan rahasia. Seperti dalam Pramuka, acara-acara rihlah ini sering menjadi ajang 'cinta lokasi' yang dialami para mahasiswa.

Aku sangat menikmati perjalanan itu. Hingga kini, aku selalu bersemangat menelusuri kawasan baru dan menarik. Dimanapun, di ujung dunia sekalipun. Meski terkadang, semua itu hanyalah mimpi. Tetapi tak apa. Yang penting ada keinginan dulu. Seperti dalam lagu Dora Emon. "Aku ingin begini, aku ingin begitu, ingin ini ingin itu banyak sekali...."

Pinggiran Nil, 1 Juni 2004

No comments:

Post a Comment