Saturday, October 23, 2004

berkah ramadhan

Berburu Hidangan Tuhan

Ramadhan benar-benar bulan penuh berkah, dan karena itu, ia selalu menyisakan kesan atau kenangan manis. Di Mesir, ada salah satu berkah Ramadhan yang selalu menjadi rebutan banyak orang, termasuk kami, para mahasiswa penuntut ilmu. Berkah menawan itu bernama maidaturahman.

Selama Ramadhan, kami tidak usah direpotkan dengan kegiatan masak buat berbuka. Hampir setiap mesjid di kota Kairo ini, selalu menyediakan makanan buat para shaimin. Berbeda dengan di tanah air, yang hanya tersedia di mesjid-mesjid tertentu saja. Di Mesir, jika kita bepergian kemanapun, jangan khawatir magrib ngga makan. Asal mau datang ke mesjid terdekat, pasti ada makannya. Nah, hidangan di Mesir ini dinamakan maidaturrahman (secara harfiah berarti hidangan dari Yang Maha Pemurah).

Menurut sebuah koran yang saya baca, pada Ramadhan tahun lalu, maidaturahman di mesjid-mesjid Mesir ini dinikmati oleh rata-rata 3 juta orang per hari. Jumlah penyumbangnya ada 10 ribu orang. Mereka adalah para dermawan Mesir, juga para hartawan pengelola yayasan sosial di negara-negara Arab lain semisal Saudi atau Kuwait. Total dana yang dikeluarkan untuk membiayai maidaturahman selama sebulan Ramadhan tahun lalu mencapai $ 100 juta. Atau hampir setengah dari jumlah dana pembangunan Maktabah Iskandariah yang megah dan menghabiskan biaya $ 220 juta itu.

Menurut catatan sejarah, maidaturahman ini telah ada sejak masa Ahmad Bin Tulun, khalifah Dinasti Fathimiyyah, yang berkuasa di Mesir pada abad 10 Masehi. Selama ratusan tahun, tradisi ini berjalan baik, tetapi pada dekade 1950-an pernah hilang, kala Mesir dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser. Entah kenapa sebabnya, saya kurang tahu. Lalu, tahun 1967 muncul lagi, di mesjid Khulafa ar Rasyidin, kawasan Mesir Jadidah, konsumennya 400 orang per hari. Seiring dengan berjalannya sang waktu, maidaturahman pun kembali menggeliat. Hingga pada akhir masa kepemimpinan Anwar Sadat, tahun 1980-an, trend maidaturahman kembali populer.

Belakangan ini, penyedia maidaturahman tak hanya mesjid-mesjid, tetapi juga toko-toko tepian jalan raya, dan bahkan warga Mesir secara perorangan. Tempat-tempat penyedia maidaturahman itu bisa dengan mudah kita kenali karena selalu ada spanduk iklan. Seolah mereka berlomba merekrut konsumen sebanyak-banyaknya. Subhanallah.

Menelusuri mesjid-mesjid penyedia maidaturahman di Mesir, membuahkan sensasi tersendiri. Ada pengalaman baru atau kenangan manis, yang terkadang menggelikan. Cara orang Mesir menyajikan makanan ternyata beragam. Di beberapa mesjid besar , biasanya makanan tersaji dengan rapi dan bersih. Setiap orang mendapat jatah satu wadah besar, tentunya dengan menu yang menarik. Biasanya, nasi (atau roti), sayur, sepotong daging atau ayam berukuran besar, serta buah-buahan.

Beberapa kawan biasanya telah mengetahui lokasi-lokasi masjid penyedia maidaturrahman dengan menu yang menarik. Tahun lalu, ada seorang kawan akrab yang menjadi pelanggan harian maidaturahman di sebuah mesjid yang letaknya sangat jauh dari tempat tinggal. Untuk itu, ia rela setiap hari pergi ke sana, dan pulang menjelang tengah malam, usai tarawih. “Yang penting khan, gizi seimbang”, tuturnya sumringah.

Ada juga mesjid-mesjid yang menyajikan makanan dalam wadah-wadah besar, untuk dinikmati rame-rame. Nasi, sayur, kentang bahkan juga ikan atau daging rebusnya, disimpan sekaligus disana. Satu wadahnya, cukup untuk 7 hingga 10 orang. Makan satu wadah dengan orang Mesir, terkadang tanpa sendok, atau gantian sendok. Roti khas Mesir “isy”, berbentuk bundar seukuran kerupuk, kadang diberikan dengan cara dilempar.

Kalo kebetulan makan dalam suasana seperti ini, saya selalu berusaha tidak satu grup dengan orang Mesir. Soalnya, selain bakal “kalah saing”, saya kapok dengan prilaku orang Mesir yang jorok-jorok. Saya lebih senang cari orang Asia lainnya. Kecuali kalo ngga ada kawan lagi, terpaksa harus rela menghadapi kenyataan.

Sewaktu tinggal di Katamea, sebuah pemukiman baru di luar kota Kairo, saya menjadi pelanggan maidaturahman di mesjid dekat rumah. Hampir setiap hari. Karena hidangan disajikan per kelompok, saya selalu membuat tim sesama mahasiswa Indonesia lagi. Kalo dengan orang Mesir, ya itu tadi ; selain bakal kalah saing, mereka juga jorok-jorok. Apalagi di mesjid ini saya lihat banyak sekali orang-orang Mesir yang berprofesi pekerja kasar atau penggali tanah. Baju mereka lusuh-lusuh, dan kayaknya masuk mesjid belum pada mandi.

Jatah nasi kami, para mahasiswa Asia, sering ngga habis. Apalagi isy-nya, masih berserakan. Menghadapi suasana begini, kami ngga usah khawatir nasi-nasi sisa itu akan mubazir atau terbuang sayang. Mereka, orang-orang Mesir, selalu siap menjadi tim Thoharoh, pembersih semua sisa makanan. Tak jarang kala kami masih sedang asyik makan, orang-orang Mesir pinggiran itu sudah pada berdiri, memutar-mutar di sekeliling kami, nunggu kesempatan kami selesai. Kalo kami sudah berdiri tanda mau bubar, mereka tiba-tiba menyerbu wadah bekas kami makan, sibuk memilah-memilih sisa-sisa nasi, potogan-potongan isy, bahkan tulang-tulang ayam.

Saat awal-awal di Mesir, saya sering merasa canggung makan bersama dalam satu wadah. Saya kerap merasa geli dan ingin muntah. Tetapi, kata hati dan idealisme, kalah oleh rasa lapar. Membenci tradisi itu, berarti membiarkan perut sendiri keroncongan. Kebiasaan makan satu wadah rame-rame, satu gelas bersama-sama, kini telah menjadi tuntutan budaya yang harus kami ikuti. Makna pepatah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung saya rasakan kebenarannya sekarang, ya pada bulan Ramadhan ini.

Pinggiran Nil, 23 Oktober 2004

2 comments:

  1. Makan...makan di mesir euy....yg TOP mah ngumpulnya meski sering nga kebagian Makanan...heuheuheue... Poor me...

    ReplyDelete
  2. kang, tulisan ini boleh saya sebar ke temen2 gak?
    soalnya biar mereka tahu diluar/di tempat orang tak sekejam yang dibayangkan. malah lebih menyenangkan...

    ReplyDelete