Wednesday, October 13, 2004

Gamelan Agustusan

Seni Lokal, Gaul Internasional


Panggung Malam Gembira 19 Agustus 2004 di Kairo

Dari 22 kali pentas gamelan yang pernah kualami di Mesir dalam 2 tahun terakhir, panggung malam gembira HUT RI pada 19 Agustus 2004 lalu adalah yang paling berkesan. Selain karena disaksikan oleh lebih dari 1700 pasang mata manusia satu negeri, aku merasa puas dengan dua buah lagu yang kami suguhkan.

Malam itu, sengaja kami tidak membawakan lagu Sunda yang iramanya mendayu-dayu itu. Tetapi, lagu populer milik Raja Dangdut Rhoma Irama, berjudul Malam Terakhir dan juga sebuah tembang penyanyi Mesir kesohor, Amr Diab, berjudul Wala 'Ala Balu. Malam Terakhir adalah lagu lama yang direlease ulang dalam beberapa tahun teakhir. Sedangkan lagunya Amr Diab, diluncurkan ke publik setahun lalu. Jadi, sekarang teh, lagi ngetrend-ngetrendnya di Kairo.

Pilihan atas dua lagu ini bukan tanpa alasan atau perhituangan matang. Lagu Oma dipilih karena kami ingin menghadirkan suasana keindonesiaan di malam kemerdekaan. Juga kami percaya diri dengan vokalis serba bisa, Sisca Nurcahya. Suara emasnya pasti akan bikin hadirin terkesima. Sedangkan lagu Arab dipilih sebagai bentuk keakraban kami dengan budaya lokal, dimana kami berada.

Satu hal yang tak kalah pentingnya, kami ingin menyuguhkan kolaborasi musik gamelan dengan lirik-lirik modern. Kami ingin membuktikan kepada publik bahwa gamelan punya potensi untuk berkembang lebih jauh melewati batas-batas persemaian budayanya sendiri. Gamelan memang seni daerah, tetapi kami berusaha membebaskannya dari rasa mindernya sebagai sekadar budaya etnis. Gamelan memang tradisi lokal, tetapi gaulnya harus level internasional, begitulah kira-kira. Teori-teorinya kami kembangkan, konsep-konsepnya kami diperbaharui. Saat latihan rutin, kerap kami bertualang, mencoba-coba setiap lagu populer, untuk kami mainkan pake gamelan. Sebut saja misalnya Boulevard, Denpasar Moon, Puteri Panggung, Lirikan Matamu atau Pemuda Idaman. Kami yang berada di luar negeri hanya ingin agar gamelan dinetralisir dari bayang-bayang sugesti rasa kedaerahannya yang secara geokultural sangat sempit. (Hahaha....so’mantap yach...?!)


Menuju hal ini, tentu tak mudah. Kami harus cermat dalam memilah dan memilih lagu-lagu Arab atau lagu Melayu – dengan nada diatonis,- yang bisa diiringi oleh alat gamelan yang tangga nadanya pentatonis. Kadang agak-agak dipaksakan juga memang. Tapi, yang penting khan enak didengar.

Dalam sebuah panggung di acara pertemuan para isteri diplomat asing di Maadi –sebuah kawasan elit di timur Kairo – awal April lalu, kami mencoba membawakan sebuah tembang lawas berbahasa Inggeris ; Boulevard. Aku yang megang saron –alat gamelan berfungsi melodi – adalah yang paling bertanggung jawab dalam menjaga keutuhan lagu, agar seindah warna aslinya. Sedangkan di kota Iskandariah, dalam panggung Indonesian Week 2003 penghujung September tahun lalu, kami menyuguhkan Qull Li Uhibbuka, sebuah lagu Arab kesohor milik Kadzem Saher, penyanyi bersuara emas yang lagu-lagunya dikenal selalu berbahasa Arab fushah. Seperti pada malam agustusan kemaren, tepuk tangan ratusan hadirin warga kota Iskandariah saat itu, bergemuruh sejak melodi intro awal lagu Arab itu kami mainkan. Kala itu, sepintas aku menemukan aura kekaguman pada wajah-wajah mereka, kok bisa-bisanya gamelan, sebuah alat seni tradisi, memainkan lagu-lagu bernada diatonis, berbahasa Arab pula.

Pinggiran Nil, 26 Agustus 2004

No comments:

Post a Comment