Thursday, October 14, 2004

SSM 5 : Perpustakaan Budaya (1)

Perpustakaan Iskandariah,
Ufuk Baru Peradaban Mesir

Julukan “Pyramid keempat” bagi Perpustakaan Iskandariah yang dilontarkan oleh sejumlah ilmuwan Mesir, nampaknya tidak berlebihan. Seperti halnya ketiga pyramid Giza yang menjadi salah satu keajaiban dunia, pyramida keempat ini juga memang pantas dibanggakan.

Perpustakaan Iskandariah (Bibliotheca Alexandria) di kota Iskandariah, 224 km barat Kairo, diresmikan oleh Presiden Mesir, Husni Mubarak, Rabu (16/10/2002) pukul 18.00 waktu setempat, setelah sempat diundur hingga dua kali, masing-masing bulan April dan Juli 2002. Sekitar 13 orang pemimpin negara dari berbagai penjuru dunia, diantaranya Presiden Prancis Jack Chirac, Presiden Yunani Kostantin Stefano, dan Ratu Sofia dari Spanyol, hadir bersama 300 tamu kenegaraan lainnya dalam acara ini. Selain itu, hadir pula para ilmuwan dan akademisi Mesir, para peraih Nobel bidang sastra seperti Wael Sonica (Nigeria) dan Naguib Mahfouz (Mesir).

Acara pembukaan ini nampaknya menjadi pesta budaya yang sangat dinantikan oleh warga Mesir dan negara sekitarnya. Berbagai pagelaran seni seperti teater, film, seni tari rakyat, dan musik tradisional dari 10 negara, memeriahkan acara yang akan berlangsung hinga 30 Oktober 2002 ini. Saat acara peresmian, sekitar 3000 orang memadati jalan-jalan dan kawasan sekitar perpustakaan. Menurut seorang pejabat Pemda Iskandariah, hotel-hotel di kota itu telah dipadati wisatawan domestic dan mancanegara, sejak hari selasa. Hari rabu pagi, sebanyak 550 orang warga Yunani, berumur 20 hingga 70 tahun, tiba di pantai Iskandariah dengan menggunakan sebuah kapal besar bernama “World Renaissance”. Setibanya di dermaga, mereka langsung menari-nari, menyanyikan lagu-lagu ceria. Beberapa diantaranya menyanyikan lagu Mesir berbahasa Arab. “Mereka sengaja datang untuk menyaksikan acara peresmian perpustakaan”,ujar Shofayuddin Mushtafa Kamil, wakil gubernur Iskandariah yang kebetulan menyambut kedatangan mereka di pantai. “Saya bangga dan terharu melihat kota Iskandariah ini”, ujar Manole Demtorbes, 60 tahun, salah seorang anggota kontingen Yunani yang sewaktu mudanya pernah tinggal di kota pantai itu selama 10 tahun.

“Peresmian perpustakaan ini diharapkan bisa menjadi jembatan dialog budaya dan peradaban umat manusia di era modern”, ujar Presiden Mubarak dalam pidatonya. “Dialog antar peradaban adalah salah satu solusi penting dalam menghilangkan budaya-budaya kekerasan, ekstrim, yang terjadi di beberapa negara sekarang”,kata dia lagi.

Selain dianggap sebagai simbol kebesaran empat peradaban besar, yakni Mesir Kuno, Romawi, Yunani dan Islam, perpustakaan ini juga diharapkan menjadi jembatan pengikat antara dua peradaban manusia, yakni peradaban masa lalu yang klasik dan peradaban masa sekarang yang serba modern. Seperti halnya rumah-rumah ibadah didirikan untuk mensucikan Tuhan, maka perpustakaan didirikan untuk mengagungkan ilmu pengetahuan. “Pembukaan kembali perpustakaan ini adalah bukti keseriusan Mesir dalam menjaga warisan-warisan budaya lama”,demikian komentar siaran resmi Radio Pemerintah Perancis, Rabu petang. “Iskandariah kembali terbukti menjadi pusat kajian dan markas ilmu pengetahuan, seperti dulu”.

Komentar yang sama juga muncul dari Kostantin Stefano, Presiden Yunani. “Pembukaan perpustakaan ini adalah peristiwa budaya dan peradaban yang sangat penting dicatat oleh sejarah”,kata dia kepada para wartawan di Iskandariah, rabu malam, usai acara pembukaan.

“Perpustakaan ini dihidupkan kembali, bukan untuk menyaingi perpustakaan kongres AS. Uang yang mereka keluarkan untuk membiayai perpustakaan, sangat besar, bisa mencapai 435 juta USD”, ujar Dr. Ismail Seradjuddin, direktur perpustakaan Iskandariah. Menurut dia, ada 4 target utama dari pembangunan kembali perpustakaan ini. Pertama, perpustakaan ini diharapkan menjadi jendela dunia terhadap Mesir. Setiap orang dari seluruh penjuru dunia, dapat menemukan ketinggian nilai peradaban Mesir Kuno melalui perpustakaan ini. Kedua, menjadi jendela Mesir terhadap dunia. Para pelajar, mahasiswa dan kalangan akademisi Mesir dapat menjadikan perpustakaan ini sebagai media yang membantu agar bisa mengenal berbagai peradaban dunia modern. Ketiga, perpustakaan ini diharapkan mampu menjadi perpustakaan modern. Dan terakhir, perpustakaan ini diharapkan bisa menjadi pusat dialog budaya dan peradaban, dan juga pusat studi dan penelitian ilmiah.


Markas Ilmuwan
Untuk pertamakalinya, perpustakaan ini didirikan pada tahun 288 SM oleh Iskandar Agung, penguasa Mesir kala itu, di kawasan As Shatiby, kota Iskandariah Mesir. Perpustakaan ini berdiri menghadap ke arah Laut Tengah, tepat sekitar 30 meter dari pantai. Kala itu ia mendirikannya dengan tujuan sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan tempat berkumpulnya para ilmuwan. “Alexander Agung tidak hanya menginginkan Iskandariah menjadi kota pantai pusat perniagaan, akan tetapi juga menjadi pusat kajian ilmu pengetahuan”, ujar Dr. Ahmed Abdul Fattah, Direktur Musium dan Kepurbakalaan Iskandariah. “Ia mengumpulkan para ilmuwan, mengumpulkan buku-buku, menyimpannya di suatu tempat, sehingga Iskandariah bisa mengungguli Athena dalam hal ilmu pengetahuan”,kata dia lagi.


Diantara para ahli yang sempat aktif berkumpul disini adalah Aristarkhus, seorang ilmuwan yang mula-mula berpendapat bahwa bumi berputar mengelilingi Matahari, Irathoenes (245-204 SM), yang sempat menjadi direktur perpustakaan, Heropelous, ahli ilmu bedah yang pertama kali mengatakan bahwa akal adalah pusat daya fikir manusia, dan Archimedes (287-212 SM).

Di sinilah untuk yang pertama kalinya terjadi penerjemahan buku-buku keagamaan semisal Kitab Taurat dari bahasa Yahudi Kuno ke bahasa Yunani, di abad ketiga SM. Kemudian, gerakan penerjemahan buku-buku itu semakin berkembang hingga ke berbagai bahasa dunia. Buku-bukunya pun beragam, dari bidang filsafat, sosiologi, ilmu falak hingga olah raga.

Kehadiran para ilmuwan itu sangat besar artinya bagi perkembangan perpustakaan. Hingga awal abad pertama Masehi, ada sekitar 900 ribu naskah manuskrip kuno tersimpan di sini. Akan tetapi, pada tahun 48 SM, terjadi peperangan antara tentara Mesir yang dipimpin oleh Ratu Kleopatra dengan tentara Romawi yang dipimpin oleh Julius Kaesar. Peperangan yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Iskandariah ini, menyebabkan perpustakaan terbakar, sehingga 400 ribu koleksinya musnah. Tiga abad kemudian umat Kristiani datang untuk menaklukan Mesir yang sebenarnya telah jatuh ke pihak Romawi, hingga kemudian agama Kristen menjadi agama resmi di kekaisaran Romawi. Kemudian Pada tahun 391 M, Theodesius, Kaisar Romawi saat itu, memerintahkan penghancuran rumah-rumah ibadah di kota Iskandariah, yang didalamnya terdapat patung-patung berhala. Perpustakaan Iskandariah tak luput dari menjadi sasaran, karena dianggap menyimpan patung-patung sembahan. Untuk kedua kalinya perpustakaan terbakar lagi, hingga isinya musnah sama sekali. Pada tahun 415 M, terbunuh pula Hebasiyya, seorang wanita ilmuwan matematika, anak salah seorang ahli ilmu falak yang menjadi tokoh pengurus perpustakaan. Kematiannya dianggap sebagai akhir kejayaan ilmu pengetahuan dan perpustakaan di kota Iskandariah.

Enam belas abad kemudian, kalangan akademisi dari Universitas Iskandariah menggagas pendirian kembali perpustakaan ini. Dalam acara peresmian patung Abu Simbel di Luxor, tahun 1980, mereka mengusulkan agar pemerintah Mesir membangun kembali perpustakaan itu, tepat di lokasi yang sama. Kebetulan tanah lokasi bekas perpustakaan ini menjadi hak milik Universitas Iskandariah.

Pemerintah Mesir kemudian berusaha mencari dukungan untuk merealisasikan cita-cita para akademisi itu. Pada tahun 1987 UNESCO ikut membantu dengan cara mengadakan sayembara pembuatan arsitektur gedung, yang kemudian diikuti oleh 540 arsitek kenamaan dari puluhan negara. Sayembara ini dimenangkan oleh lembaga Senohata, sebuah tim arsitek dari Norwegia. Dengan dibantu oleh para arsitek senior Mesir yang dipimpin oleh Ir.Mamduh Hamzah, para arsitek Norwegia itu mulai bekerja mempelajari kelayakan lokasi. Setelah semuanya dianggap siap, dengan dana awal 880 ribu USD yang dihimpun dari berbagai negara, pada bulan Juni 1988, Presiden Husni Mubarak didampingi oleh Freiderick Maour, direktur UNESCO saat itu, melakukan peletakan batu pertama. Pemerintah Mesir juga membentuk tim pendirian perpustakaan Iskandariah, dan pada tanggal 11 Februari 1990, dalam sebuah pertemuan di Aswan, pemerintah Mesir membentuk tim penggalian dana yang diketuai langsung oleh Nyonya Suzan Mubarak. Mulailah kampanye penggalangan dana di berbagai negara. Setelah dirasa siap, tahun 1995, pembangunan dilanjutkan. Proyek pembangunan ini juga melibatkan sejumlah tenaga ahli dari Inggeris dan Italia. Pembangunan pondasi gedung, memakan waktu satu setengah tahun, dengan menghabiskan dana sebesar 59 juta USD. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1997, wujud gedung mulai menampakkan bentuknya. Sejak awal dibangun hingga selesainya pada tanggal 1 Oktober 2002 lalu, sedikitnya 3000 pekerja dengan 50 orang insinyur, terlibat dalam proyek ini.

Total keseluruhan dana yang dihabiskan untuk membangun perpustakaan ini adalah 220 Juta USD. Dana sebesar itu berasal dari pemerintah Mesir, UNESCO, dan sumbangan berbagai lembaga, baik swasta dan pemerintah dari berbagai negara. (bersambung)

No comments:

Post a Comment